LENTERA




Rutinitas baru selama sebulan penuh:
Sebelum subuh mata ini sudah harus kembali terjaga.
Bangun, dan waktu sahur pun tiba.
Aroma hidangan membutakan niat sebenarnya
Segala disantap, untuk berjaga-jaga daripada tak kuat puasa
Setelah adzan subuh berkumandang,bersemangat untuk bertemu dengan illahi
Meski tak sesemangat saat makan sahur tadi...

Begitulah hari-hari pada bulan yang suci dimulai..

Jika bersedia menahan lapar dan haus, namun menghalalkan diri untuk meniadakan segala aktivitas positif dan menggantinya dengan tidur seharian dengan dalih memaklumi keadaan tubuh yang lemah, apakah bisa disebut sungguh-sungguh puasa?

Jika bersedia menahan lapar dan haus, namun masih tega membiarkan diri memilih melakukan sesuatu yang kurang berbobot pahala; hanya menonton program-program TV–tapi tentu saja lebih memilih yang bukan kajian islam-daripada menggiatkan shalat-shalat sunnah dan dzikir, memilih duduk berjam-jam di depan komputer daripada duduk berjam-jam untuk tilawah, memilih menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan ke mall atau bioskop daripada menghabiskan waktu dengan berkumpul di majelis ilmu, apakah bisa disebut sungguh-sungguh puasa?

Jika bersedia menahan lapar dan haus, namun anggota badan yang lain masih bermaksiat; bibir masih membicarakan orang lain, hati masih memendam hasad, pandangan masih belum ditundukkan, sekali lagi, apakah bisa disebut sungguh-sungguh puasa?

Jika bersedia menahan lapar ’hanya’ 12jam lebih lama dari biasanya, namun ketika tiba waktunya berbuka buru-buru menyantap semua makanan yang tersedia tanpa memikirkan lagi makna dari menahan diri seharian tadi, apakah bisa disebut sungguh-sungguh puasa?

Saudaraku, sebenarnya apa yang kita cari? Bukankah rahmat Allah? Lantas bagaimana kita bisa benar-benar merasakan cinta Allah jika amalan-amalanNya saja, kita masih enggan melakukannya? Lantas bagaimana bisa kita merasakan anugerah bulan suci ramadhan jika sepanjang hari hanya dihabiskan dengan tidur–bangun hanya untuk shalat fardhu? Bagaimana bisa pula kita turut merasakan laparnya saudara kita yang papa jika toh pada akhirnya semua keprihatinan itu terlupakan dan tandas di meja makan sesaat setelah maghrib tiba?

Seandainya kita tahu, sungguh seandainya kita tahu,
Seberapa agung 30 hari pilihan ini, seberapa sangat barokah setiap detiknya, dari pagi hingga pagi lagi, dari hari pertama hingga hari terakhirnya..

Memang tidur pun dihitung ibadah, tapi mengapa kita hanya memilih untuk mengerjakan ibadah yang paling sederhana? Jika kita bisa mendapatkan kunci-kunci semesta, mengapa kita hanya puas dengan kunci-kunci bumi saja? Jika kita bisa meraih rahmat se-samudra Allah yang tak terkira, mengapa kita hanya membiarkan diri memilih air di dalam gelas saja?

Jika yang seperti ini saja yang kita lakukan, masihkah kita merasa pantas mengikrarkan diri sebagai muslim yang sungguh-sungguh berpuasa? Benarkah kita telah begitu memahami makna ramadhan kali ini? Padahal belum tentu kita bisa bertemu dengan ramadhan selanjutnya. Tapi mengapakah kita masih merasa pantas menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Sungguh, Islam dan Ramadhan terlalu agung untuk kita perlakukan seperti ini..

Padahal seandainya kita tahu, sungguh seandainya kita tahu..
Allah mengajarkan kita berpuasa bukan untuk menjadi hamba yang lemah. Allah mengajarkan kita berpuasa bukan untuk ’membalaskan dendam’ atas segala bentuk ’menahan’ ketika tiba waktunya berbuka. Allah mengajarkan kita berpuasa bukan untuk terus tidur dan mengorbankan ibadah-ibadah kita yang lain. Allah mengajarkan kita berpuasa bukan untuk itu, saudaraku.

Tetapi...

Allah mengajarkan kita berpuasa untuk kuat menghadapi hari-hari seperti biasa meski dalam keadaan yang sulit. Allah mengajarkan kita berpuasa untuk menyadari bahwa kita ternyata memang bukan siapa-siapa tanpa diriNya, dan mengajari kita untuk bersyukur atas rahmat yang diberikanNya ketika tiba saatnya berbuka tetapi tetap menjalankan sunnah Rasulullah, bahwa segala yang berlebihan itu tidaklah baik. Allah mengajarkan kita untuk tidak mengeluh. Allah mengajarkan kita untuk bersabar. Allah mengajarkan kita untuk mampu menguasai diri tidak hanya secara jasadiyah tetapi juga ruhyah. Allah mengajarkan kita untuk ikut merasakan sedikit bagian dari betapa susahnya menjadi saudara-saudara kita yang tidak seberuntung kita, merasakan laparnya mereka, merasakan hausnya mereka. Allah mengajarkan kita berpuasa untuk merasakan kehadiranNya.

Jika pada akhirnya puasa hanya sampai pada menahan diri dari lapar dan haus saja, tidakkah kita termasuk orang yang merugi? Ternyata segala lapar dan haus itu hanya bernilai pengorbanan menahan diri, tetapi belum bernilai ibadah yang sempurna di mata Allah. Ternyata puasa kita semata-mata hanya ritual untuk mendapat lapar dan haus tanpa disertai rahmat Allah yang mengiringinya. Hanya seperti ini saja kah puasa kita? Wallahualam bis shawab.


Home

Tidak ada komentar:

Posting Komentar